Fatahillah, 2.1


            Berada di rumah sakit, dimana di sekililingku penuh dengan orang-orang sakit. Baik itu tua, muda, laki, ataupun perempuan. Jadi merasa sangat-sangat bersyukur aku masih deberi kesehatan sama Allah SWT. Aku lewati koridor demi koridor untuk menuju ke ruang F, dimana embahku terbaring disana. Melewati koridor dan lorong itulah aku melihat orang-orang terkulai lemas di perbaringan kasur rumah sakit.
            Aku yang untuk seminggu terakhir ini menjadi pengunjung setia rumah sakit, merasa ngeri melihat pemandangan seperti ini. Hei, engkau semuanya yang diberi kesehatan oleh Tuhan, memang selayaknya dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Alangklah sayangnya orang-orang yang tidak mempergunakan kesehatan ini dengan hal yang bermanfaat.
            Saat ini aku berada tepat disamping tempat embahku terbaring dengan infus di tangan kirinya. Aku berada di kamar kelas II, Ruang Fatahillah, tepatnya no 21. Di sini dalam sekamar terdapat 3 pasien. Embahku berada di sebelah paling utara. Tepat di sebelah embahku, ada perempuan kira2 usianya 2 tahun diatasku. Kemudian di sampingnya lagi ada nenek tua yang kira2 seumuran sama embahku. Di depan kamarku banyak para penunggu pasien yang tidur di luar. Hanya dengan beralas tikar. Dan berselimut seadanya. Akupun juga demikian. Tapi aku berada di dalam kamar, dengan beralas tikar dan tanpa selimut, tapi  aku pasang kaus kaki di kakiku supaya aku tidak merasa sangat dingin. Entahlah kaus kaki ini milik siapa. Pokoknya ada, ya aku pakai aja.
            Sambil menatap layar laptop yang sengaja aku bawa dari rumah untuk menemani kesepianku, aku menuliskan kata demi kata, kalimat demi kalimat yang entah suatu saat nanti akan menjadi apa. Di sampingku ada singkong keju, pingin aku makan, tapi rasanya tak lengkap jika tanpa teman. Jadi aku hanya meneguk sedikit minuman di sampingku.
            Jam sudah menunjukan pukul 22.00 WIB, tapi mata ini masih terus saja terjaga. Selain aku juga masih banyak para penunggu pasien lainnya yang masih terjaga. Masih belum tau sampai kapan aku berada disini untuk malam ini. Kalupan sampai pagi, itu tak apa. Itu kan juga buat embahku. Meskipun beliau orang yang keras kepala, tapi pada dasarnya beliau adalah sosok orang yang lemah.
            Di ruang Fatahillah no 21 inilah aku melihat sosok orang yang dulunya begitu gigih bin kuat plus tangguh dan anti cuaca ini terkulai lemas tak berdaya degan tangan kirinya di pasang infus. Di ruang Fatahillah no 21 ini  juga, aku melihat sosok embahku yang begitu keras, ternyata juga bisa meneteskan air mata ketika beliau merasa sudah tua. Di ruang Fatahillah ini juga aku meras menjadi cucu yang tidak berbakti. Aku sering berkata kasar pada beliau.
            Dan, saat ini aku melihat beliau tertidur. Aku melihat cekung matanya yang sudah dalam yang pertanda bahwa beliau bukanlah embahku yang kuat dengan jenggot hitamnya yang sengaja dipanjangkan, sosok yang keras, yang ditakuti anak kecil. Embahku yang 15 tahun yang lalu sering menggendongku, mengajakku maen kesana kemari. Embahku yang rajin memberi uang saku tanpa aku minta. Dan ketika aku minta, justru tak dikasih. Begitulah memang sosok emabhku yang aneh ini.
Tapi sekarang aku melihat sosok yang berbeda. Beliau sudah terlihat jauh lebih tua daripada satu tahun yang lalu. Rambutnya sudah putih. Bahkan putih sekali. Kulitnya sudah sangatlah keriput. Cekung matanya dalam. Kakinya yang mulai mengecil pertanda kekuatannya sudah luntur. Suaranya yang terasa begitu berat dan dalam. Itulah sosok embahku saat ini.
            Meski sudah terlihat jauh lebih tua dari satu tahun sebelumnya, tapi beliau tetap embahku yang keras kepala. Dengan keras kepalanya itulah beliau menutupi kelemahannya yang sekarang sedang melanda dirinya. Sosok yang pekerja keras dan disiplin tinggi itu sekarang terbaring tak berdaya di ruang Fatahillah no 21.

27 des 2009

Komentar

Postingan Populer